google-site-verification: google6a1320bc22957658.html Oktober 2012 ~ Aneuk Atjeh.Com

Pages

30 Okt 2012

Si Pembeli Akhirat dengan Dunia

Sa'id bin Amir -radhiallaahu 'anhu-

        Sa'id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya. (Ahli sejarah).

Adalah seorang anak muda Sa'id bin Amir Al-Jumahi salah satu dari beribu-ribu orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan'im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy, untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin 'Adiy, salah seorang sahabat Muhammad yang diculik oleh mereka.

Kepiawaian dan postur tubuhnya yang gagah, ia mendapatkan kedudukan yang lebih dari pada orang-orang, sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.
Dengan demikian ia dapat melihat dengan jelas tawanan Quraisy yang terikat dengan tali, suara gemuruh perempuan, anak-anak dan remaja senantiasa mendorong tawanan itu menuju arena kematian, karena kaum Quraisy ingin membalas Muhammad atas kematian orang-orangnya ketika perang Badar dengan cara membunuhnya.

Ketika rombongan yang garang ini dengan tawanannya, sampai di tempat yang telah disediakan, anak muda Sa'id bin Amir Al-Jumahi berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban, dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak, Khubaib berkata, "Izinkan saya untuk shalat dua raka'at sebelum pembunuhanku ini jika kalian berkenan."

Kemudian ia memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua raka'at, alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu...

Kemudia ia melihat, Khubaib seandainya menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, "Demi Allah! Jjika kalian tidak menyangka bahwa saya memperpanjang shalat karena takut mati, tentu saya telah memperbanyak shalat..."

         Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, mereka memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup, mereka memotongnya sepotong demi sepotong, sambil berkata, "Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu dan kamu selamat?", maka ia menjawab- sementara darah mengucur dari badannya, "Demi Allah! Saya tidak suka bersenang-senang dan berkumpul bersama istri dan anak sedangkan Muhammad tertusuk duri" . Maka orang-orang melambaikan tangannya ke atas, dan teriakan mereka semakin keras, "Bunuh!-bunuh...!."

Kemudian Sa'id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, "Ya Allah ya Tuhan kami! Hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satupun dari mereka", kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.

Orang-orang Quraisy telah kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena banyak kejadian-kejadian setelahnya.
Akan tetapi anak muda Sa'id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.

Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka, Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua raka'at dengan tenang di depan kayu salib, dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdo'a untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau ia tersambar petir atau ketiban batu dari langit.

Khubaib telah mengajari Sa'id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah aqidah dan jihad di jalan aqidah itu hingga akhir hayat.
Ia mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan kemu'jizatan.
Dan ia mengajarinya sesuatu yang lain, yaitu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.

Semenjak itu Allah membukakan dada Sa'id bin Amir untuk Islam, lalu ia berdiri di hadapan orang banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.

Sa'id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah , dan ia ikut serta dalam perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya.

Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, -saat itu beliau sudah meridhainya- ia mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah Abu Bakar dan Umar, dan hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang mu'min yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya.

Kedua khalifah Rasulullah telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa'id bin Amir, keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan memperhatikan pendapatnya.
Pada awal kekhilafahan Umar, ia menemuinya dan berkata, "Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia, dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah, dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan...

Wahai Umar, hadapkanlah wajahmu untuk orang yang Allah serahkan urusannya kepadamu, baik orang-orang muslim yang jauh atau yang dekat, cintailah mereka sebagaimana kamu mencintai dirimu dan keluargamu, dan bencilah untuk mereka sesuatu yang kamu benci bagi dirimu dan keluargamu, dan tundukkanlah beban menjadi kebenaran dan janganlah kamu takut celaan orang yang mencela dalam urusan Allah.

Maka Umar berkata, Siapakah yang mampu menjalankan itu wahai Sa'id?!."
Ia menjawab, "Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya, dan tidak ada seorangpun perantara antara ia dan Allah."

Setelah itu Umar mengajak Sa'id untuk membantunya dan berkata, "Wahai Sa'id; Kami menugaskan kamu sebagai gubernur atas penduduk Himsh." maka ia berkata, Hai Umar!: Aku ingatkan dirimu terhadap Allah; Janganlah kamu menjerumuskanku ke dalam fitnah. Maka Umar marah dan berkata, Celaka kalian, kalian menaruh urusan ini di atas pundakku, lalu kalian berlepas diri dariku!!. Demi Allah aku tidak akan melepasmu." Kemudian ia mengangkatnya menjadi gubernur di Himsh, dan beliau berkata, "Kami akan memberi kamu gaji." Sa'id berkata, "Untuk apa gaji itu wahai Amirul mu'minin? karena pemberian untukku dari baitul mal telah melebihi kebutuhanku." Kemudian ia berangkat ke Himsh.

Tidak lama kemudian datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul mu'minin, maka beliau berkata kepada mereka, "Tuliskan nama-nama orang fakir kalian, supaya aku dapat menutup kebutuhan mereka." Maka mereka menyodorkan selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, fulan dan Sa'id bin Amir. Umar bertanya: Siapakah Sa'id bin Amir ini?." Mereka menjawab, "Gubernur kami." Umar berkata, "Gubernurmu fakir?" Mereka berkata, "Benar, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api." Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata, kemudian beliau mengambil seribu dinar dan menaruhnya dalam kantong kecil dan berkata, Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya Amirul mu'minin memberi anda harta ini, supaya anda dapat menutup kebutuhan anda."

Saat para utusan itu mendatangi Sa'id dengan membawa kantong, lalu Sa'id membukanya ternyata di dalamnya ada uang dinar, lalu ia meletakkannya jauh dari dirinya dan berkata: (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)- seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya, hingga keluarlah istrinya dengan wajah kebingungan dan berkata, "Ada apa wahai Sa'id?!, Apakah Amirul mu'minin meninggal dunia?. Ia berkata, "Bahkan lebih besar dari itu." Istrinya berkata, "Apakah orang-orang muslim dalam bahaya?" Ia menjawab, "Bahkan lebih besar dari itu." Istrinya berkata, "Apa yang lebih besar dari itu?" Ia menjawab, "Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku." Istrinya berkata, "Bebaskanlah dirimu darinya." -saat itu istrinya tidak mengetahui tentang uang-uang dinar itu sama sekali-. Ia berkata, "Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?" Istrinya menjawab, "Ya!" Lalu ia mengambil uang-uang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil kemudian ia membagikannya kepada orang-orang muslim yang fakir.

Tidak lama kemudian Umar bin al-Khattab ? datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan, dan ketika beliau singgah di Himsh -waktu itu disebut dengan 'Al-Kuwaifah' yaitu bentuk kecil dari kalimat Al-Kufah-, karena memang Himsh menyerupainya baik dalam bentuknya atau banyaknya keluhan dari penduduk akan pejabat-pejabat dan penguasa-penguasanya. Ketika beliau singgah di negeri itu, penduduknya menyambut dan menyalaminya, maka beliau berkata kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?"

Maka mereka mengadukan kepadanya tentang empat hal, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar berkata, Maka aku kumpulkan dia dengan mereka, dan aku berdo'a kepada Allah supaya Dia tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya, karena aku sebenarnya menaruh kepercayaan yang sangat besar kepadanya. Dan ketika mereka dan gubernurnya telah berkumpul di hadapanku, aku berkata, "Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?"

Mereka menjawab, "Beliau tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang." Maka aku berkata, "Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa'id?." Maka ia terdiam sebentar, kemudian berkata, "Demi Allah sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu, namun kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu, maka aku setiap pagi membuat adonan, kemudian aku tunggu sebentar sehingga adonan itu menjadi mengembang, kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudlu dan keluar menemui orang-orang." Umar berkata, "Lalu aku berkata kepada mereka, "Apa lagi yang anda keluhkan darinya?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya beliau tidak menerima tamu pada malam hari." Aku berkata, "Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa'id?" Ia menjawab, "Sesungguhnya Demi Allah aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga, aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla." Aku berkata, "Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?"

Mereka menjawab, "Sesungguhnya beliau tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan." Aku berkata, "Dan apa ini wahai Sa'id?" Ia menjawab, "Aku tidak mempunyai pembantu wahai Amirul mu'minin, dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari." Kemudian aku berkata: "Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?" Mereka menjawab, "Beliau sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk dimajlisnya." Lalu aku berkata, "Dan apa ini wahai Sa'id?" Maka ia menjawab, "Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik, dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, "Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?" maka ia berkata, "Demi Allah aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri...Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku... maka akupun jatuh pingsan."

Seketika itu Umar berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya." Kemudian beliau memberikan seribu dinar kepadanya, dan ketika istrinya melihatnya ia berkata kepadanya, "Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu, belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu untuk kami", Maka ia berkata kepada istrinya, "Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?" Istrinya menjawab, "Apa itu?" Ia berkata, "Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih membutuhkannya." Istrinya berkata, "Apa itu?", Ia menjawab, "Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik." Istrinya berkata, "Benar, dan semoga kamu dibalas dengan kebaikan." Maka sebelum ia meninggalkan tempat duduknya dinar-dinar itu telah berada dalam kantong-kantong kecil, dan ia berkata kepada salah seorang keluarganya, "Berikanlah ini kepada jandanya fulan. dan kepada anak-anak yatimnya fulan, dan kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan".


Mudah-mudahan Allah meridhai Sa'id bin Amir al-Jumahi, karena ia adalah termasuk orang-orang yang mendahulukan(orang lain) atas dirinya walaupun dirinya sangat membutuhkan.(1)

(1). Untuk tambahan tentang biografi Sa’id bin Amr al-Jumahi, lihatlah: Al-Tahdzib:4/51, Ibnu ‘Asakir:6/145-147, Shifat al-Shafwah:1/273, Hilyatul auliya’:1/244, Tarih al-Islam:2/35, Al-Ishabah:3/326, Nasab Quraisy:399.

9 Okt 2012

Mula-mula Aceh menjadi Daerah yang Istimewa

58 tahun negara ini berdiri: Aceh masih bergolak. Indonesia memang kenyang dengan gerakan separatis, tapi mungkin tak cukup arif menarik pelajaran dari pengalaman. Di Aceh, seorang ulama, tokoh masyarakat karismatik, Teungku Daud Beureueh, mengangkat senjata melawan pemerintah pusat pada 1953. Ironis sekali. Teungku Daud adalah orang yang menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dengan sumpah setia. Ia mencintai Indonesia merdeka: dihimpunnya dana masyarakat Aceh untuk membiayai perjuangan militer dan diplomatik RI melawan tekanan Belanda.

Lantas mengapa dia berontak? Operasi militer di Aceh kini telah memasuki minggu ke-12. Ada banyak alasan untuk tetap bergabung atau berpisah. Tapi dibutuhkan lebih banyak lagi alasan untuk mengangkat senjata atau menggunakan senjata demi menciptakan damai. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk merenung: mengapa mereka yang pernah jatuh cinta itu kemudian berontak.

Mengapa Aceh Berontak?


Apa yang disebut Indonesia? Pertanyaan ini layak kita renungkan di saat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-58 republik yang kita sayangi ini. Terutama setelah rasa penat mengikuti upacara—atau setelah balap karung di RT—mulai hilang. Sebab, tak semua daerah merayakan acara 17 Agustus ini dengan tawa-ria tarik tambang ataupun berbagai perlombaan lain yang diadakan untuk merangsang suasana gembira bersama. Di beberapa daerah Aceh, misalnya, kegembiraan tak kelihatan sosoknya. Lupakan soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang bendera Merah Putih atau tidak saja bisa bermuara pada keselamatan jiwa sang pemilik rumah. Simbol resmi negara Indonesia itu dimusuhi oleh sejumlah warga yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, terlepas dari RI.

Perbedaan suasana yang mencolok di provinsi paling barat itu sungguhlah ironis. Bagaimana tidak. Sejarah telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun, tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat, yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh. Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.

Terlepas dari apa pun alasannya, kekurangtanggapan Jakarta terhadap kekecewaan itu—yang malah sempat mengirim tentara untuk membungkam protes—telah menuai konflik bersenjata yang membuat ribuan warga tewas, terluka, dan jutaan lainnya menderita. Itu sebabnya perayaan proklamasi kemerdekaan kali ini tak bisa hanya diisi dengan kegiatan bersenang-senang, tapi juga perhatian pada saudara sebangsa di Aceh. Kita semua perlu meluangkan waktu untuk memahami mengapa Aceh berontak, karena hanya dengan pemahaman itu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya dapat diraih.

Tentu bukan solusi penaklukan. Kita perlu belajar dari pengalaman Indonesia masa lalu agar tak mengulangi kesalahannya. Penaklukan Jawa oleh kekuatan luar Jawa, seperti pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, terbukti jauh dari langgeng. Demikian pula penaklukan luar Jawa oleh kekuatan Jawa, seperti di era Majapahit, bermuara pada keruntuhan. Kita justru perlu belajar dari anak-anak muda bangsa ini yang pada 28 Oktober 1928 bersepakat mendirikan Indonesia atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan, yang melahirkan tekad untuk membangun satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.

Bila kerangka pemikiran Sumpah Pemuda ini yang dijadikan patokan, jawaban atas pertanyaan "mengapa Aceh berontak?" jadi mudah ditebak. Sebab, gaya sentralistik pemerintahan Orde Baru, bahkan juga di paruh akhir pemerintahan Orde Lama, pada dasarnya adalah Majapahit babak II. Karena itu, sangat wajar jika sebagian penduduk Aceh melawannya dengan modus Sriwijaya babak II pula. Mereka mungkin tak secara sadar melakukannya, tapi simaklah mengapa baik Daud Beureueh ataupun Hasan Tiro menggunakan masa kejayaan Sultan Iskandar II sebagai modal pembangkit semangat gerakan separatisnya.

Lantas, bagaimana menyelesaikan kemelut separatisme yang dipicu oleh proses Majapahitisasi separuh abad ini? Jawabnya adalah dengan kembali ke Indonesia dengan semangat Sumpah Pemuda 1928. Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama dan bukan oleh dominasi atau penaklukan yang kuat terhadap yang lemah. Mufakat ini hanya dapat dibangun melalui rentetan dialog yang jujur, rasional, dan melihat ke depan. Karena itu, perlu dibangun di atas kesepahaman rekonsiliasi nasional yang menyeluruh.

Rekonsiliasi pada dasarnya adalah saling memaafkan kesalahan masa lalu, tapi bukan melupakannya. Ini berarti masing-masing pihak harus menyadari telah melakukan kesalahan, mengakui secara terbuka, dan bertekad tak mengulanginya. Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya adalah melakukan debat publik untuk menentukan Indonesia seperti apa yang diinginkan. Soalnya, jatidiri sebuah bangsa tak dapat dicari dari masa lampau, tapi justru harus terus-menerus dibangun. Mengutip apa yang dikatakan pemikir sohor Ignas Kleden, "Indonesia bukanlah suatu Gabe, sebuah karunia, melainkan sebuah Aufgabe, suatu tugas, yang mungkin akan merupakan ein unvollendetes Projekt, sebuah proyek yang tak kunjung selesai."

Cara penyelesaian seperti ini bukan orisinal, bahkan telah terbukti kemujarabannya di berbagai negeri. Portugal melakukannya untuk menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Kepulauan Azores dan Madeira setelah negara ini mengalami proses demokratisasi di pertengahan 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan negara kesatuan Spanyol untuk menyelesaikan gerakan separatis provinsi seperti Catalonia dan Basque setelah rezim diktator Jenderal Franco tumbang. Maka, tak ada alasan untuk pesimistis bahwa keampuhannya tak akan berlaku buat menyelesaikan pemberontakan Aceh.

Memang bukan pekerjaan gampang, tapi bukan pula sebuah mission impossible.

Pejuang Kemerdekaan yang Berontak


TIDAK pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.

Kalau cerita diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan di Aceh di awal tahun 1980-an.

Golkar kalah di Aceh pada pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini. Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah. Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis Aceh dan Gayo saja.

Apakah yang tidak saya dapatkan dalam seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah, folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua, perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri, Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal." Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini, kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut kewajaran dalam penghargaan.

Kalau telah begini pula berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari "Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"

Saya telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.

Saya juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.

Dengan mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud, Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya, "Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan "revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme", memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya "perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno disangsikan?

Revolusi adalah kisah yang membangkitkan rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika "Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi, ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan. Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.

Ketika para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan. Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi. Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih ketertiban pemerintahan?

Dalam masa "di hutan" itu ia, seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi diterima dengan segala kehormatan.

"Peristiwa Daerah" telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini: jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah, tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa. Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara, melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah diperjuangkan Aceh dengan gigih. (Taufik Abdullah Sejarawan)

5 Okt 2012

TERNYATA UMAT KRISTEN TIDAK PERNAH MENYEMBAH TUHAN !!!

UMAT KRISTEN, bukan saja merupakan umat terkutuk di dunia, akan tetapi, umat Kristen juga merupakan umat yang TIDAK PERNAH menyembah Tuhan.

                  Tatacara ibadah umat Kristen, sebagaimana diuraikan secara singkat di bawah ini, meski beberapa diantaranya diduga diajarkan oleh Yesus, akan tetapi, yang paling penting adalah bahwa umat Kristen TIDAK PERNAH menyembah Tuhan, meski mereka memiliki 3 Tuhan. Kasihan memang, tak satupun dari 3 Tuhan tersebut yang disembah oleh umat Kristen. Berikut tatacara ibadah umat Kristen:
1. Menyanyi.
Menyanyi merupakan ritual umat Kristen paling penting yang harus dilakukan pada setiap kebaktian Minggu atau kebaktian lainnya di gereja atau tempat lain. Menyanyi, bukanlah prosesi penyembahan kepada Tuhan, tetapi merupakan bentuk puji-pujian kepada Tuhan.
2. Berdoa.

Berdoa juga merupakan ritual penting kedua dalam ibadah umat Kristen. Sebagaimana berdoa dalam ritual umat-umat agama lain, berdoa dalam Kristen juga sama sekali bukanlah bentuk penyembahan kepada Tuhan, tetapi merupakan bentuk ritual permohonan/permintaan kepada Tuhan, sama sekali bukan bentuk penghambaan/kepasrahan secara total (menyembah) kepada Tuhan.
3. Puasa.

Puasa secara khusus diwajibkan kepada umat Katholik, akan tetapi, tatacara dan waktunya sepenuhnya ditentukan oleh gereja. Jelas, tatacara ini berbeda dengan puasanya umat Israel dimana Yesus mengemban misinya. Puasa ini tidak ada hubungannya dengan ritual menyembah Tuhan.


       Jelaslah sekarang, Kristen bukanlah agama yang berdasarkan Alkitab secara total, tetapi ia berdiri berdasarkan kesepakatan antara tokoh-tokoh masyarakat paganisme yang berbeda-beda pada masa lalu dengan mengadopsi surat-surat Paulus sebagai pembenarannya. Singkatnya, Kristen sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yesus maupun Perjanjian Lama, baik dilihat dari aspek ritual keagamaan maupun sejarah kelahirannya. Karena sebagaimana dapat dibaca dalam berbagai literatur, misi dan tugas kerasulan Yesus hanyalah terbatas kepada umat Israel, sementara agama Kristen secara resmi baru menemukan identitasnya tiga abad kemudian setelah dugaan penyaliban Yesus.

4 Okt 2012

5 Tips Langgeng Pacaran

Waduh...!!.pembahasan Aneuk Atjeh.com  kali ini tentang awet dalam hubungan pacaran,,walau sebelumnya pernah ngepost 3 keuntungan hidup tanpa pacar, biar adil sekarang kami post tentang langgeng pacaran, dikarnakan dunia sekarng ini, sangat susah ditemukan kesetiaan dalam berpacaran, padahal untuk setia itu mudah, ..!!! hanyak mengikuti 5 Tips berikut..:

       Memiliki pacar yang kita sayangi dan cintai sangat menyenangkan untuk dijalani. Selama masa berpacaran pasti akan ada berbagai masalah yang datang silih berganti. Jika anda berhasil menjalani itu semua, maka kesuksesan anda adalah menikah dengan doi.
Di bawah ini adalah 5 Tips  yang perlu anda lakukan agar hubungan anda tetap menyenangkan dan lancar dengan pacar tercinta sehingga dapat menikahinya :

1. Komunikasi Yang Intensif
     Dengan teknologi yang sudah maju anda bisa sering menelpon dan mengirim sms ke dia dengan obrolan yang segar dan tidak membosankan. Usahakan bisa menelfon si dia setiap malam hari dengan tarif yang murah meriah sehingga anda dapat berlama-lama ngobrol dengannya berdua. Jika si doi sudah merasa nyaman dan senang ditelfon maka komunikasi yang anda lakukan dalam kondisi yang baik.
       Hindari menanyakan hal yang sama berulang-ulang dan dapat membuat pasangan anda bosan menjawabnya. Jika anda mempunyai sesuatu hal yang menarik dan baru, sampaikanlah. Selain malam hari, jangan ganggu si dia terlalu lama. Cukup dengan telepon sebentar dan beberapa sms segar. Jangan paksakan melakukan komunikasi jika keadaan sedang tidak memungkinkan.

2. Beri Perhatian Lebih
      Perlakukan si dia berbeda dan lebih baik dari orang lain. Ketika dia ulang tahun atau event-event tertentu ucapkan selamat dan juga bisa anda beri hadiah. Buatlah seolah-olah dia seorang yang spesial dan anda tidak mau kehilangan dirinya. Jika doi ada masalah, bantulah minimal dengan mendengarkan curhat serta membantu dengan memberi solusi. tapi ingat jangan samapi Lebay memerhatikannya.

3. Ungkapan Cinta Yang Tulus Dan Wajar
     Jangan memberi ungkapan gombal yang berlebihan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ungkapkan cinta anda secukupnya secara wajar tidak dibuat-buat alias maksa. Buat varasi ungkapan cinta anda dengan berbagai metode dan cara agar tidak monoton.

4. Pelajari Sifat Dan Perilaku
     Amati dan pelajari apa-apa yang ia sukai dan apa-apa yang tidak disukainya. Jika anda sudah tahu, jangan lakukan hal-hal yang tidak ia sukai dan lakukanlah apa yang ia sukai selama tidak melanggar aturan hukum, norma dan agama serta tidak membebani anda. Hindari hubungan seks di luar nikah untuk menghindari masalah pelik yang dapat muncul. Tolak dengan baik ajakan-ajakan yang berbahaya, karena belum tentu ia akan menikah dengan anda. 


5. Jangan Pelit Dan Matre
        Ketika sedang pergi berdua jika memungkinkan tanggunglah biaya-biaya pacaran berdua seperti makan, nonton, belanja, jajan, transport, dsb. Jangan maunya dibayari saja tanpa mau mengorbankan sedikitpun uang anda untuk orang yang anda sayangi. Tetapi jika salah satu ada yang sudah bekerja dan yang satunya tidak bekerja, dibayari adalah sesuatu yang wajar.

Wow,,,kerasa berat gak dalam menjalani Tips tersebut,,pasti enggak kan,,oya,,sebenarnya masih banyak tips-tupsnya, namun Aneuk Atjeh.com hanya memberikan 5 dulu, biar sahabat semua bisa santai dalam menjalaninya,,,
 

Sekian Terimong Geunaseh...!!!